Satuan Waktu
Satu konsep tentang hukuman adalah adanya satuan waktu. ‘barangsiapa mengasihi, ia menghajar anak pada waktunya’ bukan pada setiap waktu. Kalau kita menghajar setiap waktu itu bukan mendidik, bukan mendisiplin anak, tetapi ngamuk dan amarah, itu hoby atau kebiasaan, bahkan perilaku yang keluar dari hati yang jahat. Jika orang tua menghajar setiap waktu, anak tidak akan hormat tetapi takut, kita perlu membuat anak hormat dengan orang tua dan bukan takut dengan orang tua.
Kapan kita mendisiplin anak ? Saat anak berbuat yang melanggar aturan atau hukum. Seberapa lama kita mendisiplin anak ? Sesuai fungsi hukuman adalah untuk menyadarkan kesalahan, jika anak sudah merasa salah maka kita harus berhenti menghukumnya. Jangan anak sudah merasa dan menyadari kesalahannya, kita masih ngomel, marah, berteriak-teriak, karena kita merasa belum selesai berbicara, belum puas. “Lihat mama, ma belum selesai biacara! ...bla bla bla.....” Dan kita berbicara terus nyerocos sampai puas. Ini tidak mendidik ini pelampiasan, ini amarah dan ini dosa.
Misal kita menghukum dengan ‘memarahi’ selama 5 menit, anak sudah menyadari kesalahannya, dan kita tetap meneruskan ‘didikan’ kita, sampai 15 menit, ini justru merusak fungsi didikan di 5 menit pertama tadi. Karena anak bisa saja mendengar yang kita ucapkan, tetapi dalam hatinya berkata;
“Mama bawel, mama bawel… .!”
“Emangnya gue pikirin!”
“Banyak omong lu ... emangnya gue dengerin... ”
Anak tidak jadi menyadari kesalahannya, tetapi justru membenci atau kepahitan, merasa diperlakukan tidak adil atau diperlakukan seperti ‘anak kecil’.
Soal satuan waktu dalam ‘marah’ ini juga bisa kita lihat pedoman berikut ini:
Hendaklah janganlah sampai matahari terbenam dan masih ada amarahmu
Janganlah marah berubah menjadi amarah (atau marah-marah), menjadi dendam, menjadi menyerang pribadinya dan bukan kesalahannya. Tetapi marah adalah bagian mendidik, yang dilakukan secara sadar dan terkendali, ada satuan waktu dan ukurannya.
Supaya marah tidak berubah menjadi dosa, marah ada waktunya, tidak boleh terus terbawa hingga esok hari, artinya menjadi kebencian, menjadi persepsi tentang pribadi anak yang berbuat salah. Anak bisa berbuat kesalahan, tetapi tidak berarti itu kepribadian anak, karena kepribadian sendiri bisa dibentuk dengan cara mendidik yang benar. Jika membangun persepsi yang salah tentang si-anak dan setiap kali marah, selalu mengungkit ungkit kesalahan sebelumnya untuk memperkuat argumen kita, bahwa anak ‘memang begitu’, maka ini berbahaya, karena anak akan menjadi ‘begitu’ karena dipersepsikan ‘begitu’.
Marah jangan melewati matahari terbenam, artinya marah yang ‘mendidik’, marah yang ‘profesional’ adalah marah dengan tujuan kebaikan dan selesai pada hari itu juga.
Jika saudara memulai ‘mendisiplin’ sejak anak kecil, sebenarnya setelah pola terbentuk, kita hampir-hampir tidak perlu dan tidak pernah lagi melakukannya. Yang susah adalah jika anak sudah terlanjur dibiarkan tanpa pernah ‘di-disiplin’ atau dihukum.
Satuan Ukuran
Hukuman tidak harus dengan tongkat, perkataanpun bisa berfungsi seperti tongkat, sebagai hajaran, sebagai hukuman, bahkan dalam beberapa hal bisa lebih menyakitkan. Ada didikan yang keras, tentu ada didikan yang lunak. Didikan, hukuman atau mendisiplin anak ada ukurannya. Hukuman untuk anak perempuan bisa berbeda dengan anak laki-laki, karena ada perbedaan respons. Anak laki-laki cenderung ‘cuek’ terhadap teguran, sementara anak perempuan, yang memang lebih kuat perasaannya, sudah akan menangis dengan dimarahi.
Berikan hukuman mulai dari ukuran terendah, hingga tujuan didikan tercapai, yaitu anak menyadari kesalahannya. Didikan tidak harus dengan pukulan atau rotan atau tongkat, bisa saja itu dilakukan, jika memang anak meningalkan jalan TUHAN. Kesalahan yang berupa ‘dosa’ seperti mencuri, berzinah mengambil barang teman atau tetangga, dan lainnya. Tetapi jika anak hanya menjatuhkan gelas, ya apa perlu kita harus menghajarnya. Apalagi kalau gelas itu jatuh karena anak kaget ketika kita berteriak ;” Awas !! nanti jatuh”
Jika harus memukulnya, itupun saya hanya merekomendasikan, pukulah pantatnya, jangan bagian lain dari tubuhnya, karena bisa berbahaya. Jika pukulan mengenai saraf di tangan, di kaki, apalagi di kepala, akan terjadi kerusakan saraf, lebih cepat dari sebenarnya. Bisa muncul efek ‘parkinson’ 15 atau 20 tahun kemudian. Rusaknya saraf tidak kelihatan waktu kita memukul anak, tetapi akan muncul belakangan. Pantat adalah bagian yang aman untuk dipukul, bahkan saya memandang ini sebagai tempat yang Tuhan ciptakan untuk didikan. maka Dia sediakan bagian tubuh untuk ditongkat. Bagian lain yang masih cukup aman untuk hukuman adalah telinga, saudara bisa ‘menjewer’ atau ‘menylentiknya’.
Tiap tiap anak memiliki sifat yang berbeda-beda. Anak saya pertama mudah sekali menangis jika di tegur, anak kedua lebih cuek, saya harus berteriak lebih keras untuk menegornya, sementara anak ketiga akan segera ‘ngambek’ berdiam diri seperti patung jika dimarahi, namun juga paling segera minta maaf untuk kesalahannya. Anak perempuan biasanya lebih peka terhadap teguran. Sesuaikan bentuk hukuman dengan karakter masing-masing anak. Hukuman pukul juga tidak berarti lebih berat dari kata-kata. Kata-kata yang menyerang pribadi, menusuk hati, jauh melukai perasaan.
Berbagai bentuk hukuman/ didikan/ mendisiplin anak yang bisa diterapkan diantaranya;
1. Memarahi dengan kata-kata
2. Berteriak dengan suara keras
3. Mengacungkan tangan seolah-olah hendak memukul
4. Memukul pantat
5. Menjewer atau menylentik telinga
6. Mengurung di kamar, di gudang atau di kamar mandi
7. Menjaga rumah sementara yang lain di ajak ke Plaza
8. Tidak diberi uang saku dalam minggu itu
9. Hukuman bekerja, misal membersihkan kamarnya, dsb.
Post a Comment