Dalam mendidik anak, memberikan didikan atau hukuman atau mendisiplin anak, maka team pendidik, semua yang terlibat dalam mendidik harus memiliki sikap yang sama, harus sehati, termasuk ketika sedang menghukum. Suami dan istri, orang tua dan mertua, orang tua dan kakek neneknya bahkan orang tua dengan suster atau pembantunya harus sehati.
Jika kesamaan konsep, cara mendidik, cara menghukum, cara dan jenis pemberian imbalan atau rewards berbeda antara pihak pihak yang terlibat, maka perdebatkan, diskusikan, pertengkarkan hal itu tidak dihadapan anak.
SEHATI AYAH dan IBU
Anak akan rusak jika ayahnya sedang mendisiplin, lalu anak nangis dan lari ke mamanya, sambil mengatakan atau menangis: “Mama papa jahat…” lalu mamanya membela dan mengatakan kepada si anak: “Memang… papamu jahat… sini sama mama saja”.
Anak akan rusak jika sementara salah satu orang tua sedang mendisiplin lalu pasangannya membela anaknya saat itu juga dan memarahi pasangannya didepan anaknya. Saat anak menangis karena sedang didisiplin, jika mereka lari ke kita, kita cukup memeluknya saja dan bukan membelanya. Katakan : “ Papa atau mama melakukan itu karena dia sayang sama kamu, kalau kamu baik, pasti papa (atau mama) tidak hukum kamu”. Berikan simpati, tetapi bukan pembelaan dengan menyalahkan yang sedang mendidik.
Anak akan rusak jika sementara salah satu orang tua sedang mendisiplin lalu pasangannya membela anaknya saat itu juga dan memarahi pasangannya didepan anaknya. Saat anak menangis karena sedang didisiplin, jika mereka lari ke kita, kita cukup memeluknya saja dan bukan membelanya. Katakan : “ Papa atau mama melakukan itu karena dia sayang sama kamu, kalau kamu baik, pasti papa (atau mama) tidak hukum kamu”. Berikan simpati, tetapi bukan pembelaan dengan menyalahkan yang sedang mendidik.
Jika anakmu dipukul pasanganmu, misal suamimu, engkau bisa memberikan simpati dengan melihat pantat atau tempat dia dipukul, dan katakan “woow merah tuh”, biasanya anak akan menangis dibuat semakin kenceng lalu gosok dengan ‘body lotion’ atau minyak, sambil mengatakan misalnya; “Papa pukul kamu, karena papa mau kamu jadi anak yang baik, anak yang tahu sopan santun... Papa perhatian sama kamu.. tidak seperti anak sebelah tuh... ngapain saja dibiarkan... memang enak.. tapi itu tidak baik”
Kalau engkau berbeda prinsip, berbeda pendapat dan cara dalam mendidik anak dengan suami atau istrimu, maka diskusikan di kamar, atau di luar rumah, di mobil dalam perjalanan, tidak di hadapan anak-anak. Perdebatkan dan bicarakan tetapi tidak dihadapan anak-anak. Bahkan jangan bertengkar karena yang satu membela anak dihadapan anak-anak, dan sering terjadi sementara anak-anak sudah rukun dan bermain kembali, orang tuanya justru masih tidak saling bicara.
SEHARI ORANG TUA dan OPA-OMA
Masalah anak, mertua, opa dan oma ini biasanya terjadi jika pasangan tinggal serumah atau satu kompleks dengan orang tua atau mertuanya. Saya menjumpai beberapa anak ‘bermasalah’ karena faktor ketidak sehatian orang tua dengan opa oma si anak.
Anak akan rusak jika ibunya memberikan aturan mengatakan; “Jangan makan es krim, nanti kamu batuk”, lalu si anak datang ke omanya, dan omanya mengatakan; “Sini oma belikan es krim, mama-mu itu - menantukuku itu maksudnya dalam hati - pelit !!, sini sama oma saja !”
Sering orang tua merasa bahwa dia dulu tidak bisa mengasihi anak-anaknya karena faktor ekonomi yang kurang dan sekarang dia mau mengasihi cucu-cucunya, jangan sampai dia sedih dan tidak bahagia seperti anak-anaknya dulu. Bisa juga karena faktor ingin ‘menjadi berarti’ bagi sang cucu di masa tuanya, dimana dia mungkin sudah tidak terlalu ‘berarti’ bagi anak dan tidak bisa lagi menasehati atau mempengaruhi anak-anaknya, karena mereka sudah pandai dan berhasil, maka untuk menjadi ‘berarti’ keberadaannya, opa-oma mengasihi cucu-cucunya.
Ini baik-baik saja, sepanjang tidak konflik dengan orang tua si anak, sehingga anak akan menjadi memberontak orang tuanya karena pembelaan opa-oma. Konflik bisa meluas jika orang tua si anak merasa diintervensi dan menjadi bertengkar dengan mertua atau orang tuanya (opa oma si anak).
Bicarakan secara bijaksana baik langsung dengan mertua atau orang tua atau melalui pasanganmu demi kemajuan si anak. Opa oma juga harus belajar untuk menghormati otoritas orang tua terhadap anak dan tidak mencampuri terlalu jauh.
SEHATI ORANG TUA dan GURU
Sama juga di sekolah, orang tua dan guru harus sehati dihadapan anak-anak. Kalau ada perbedaan diskusikan dengan guru atau laporkan tingkah laku si guru ke Kepala Sekolah, tetapi jangan ceritakan apa yang kau lakukan kepada anakmu, jangan menjadi ‘jagoan’ dengan ‘melabrak’ gurunya, jangan jadi ‘pahlawan’ untuk urusan yang semacam ini, jadilah pahlawan bagi anak-anakmu dalam bidang lain. Jika ini yang engkau lakukan, maka anak-anakmu tidak akan menghormati gurunya, dia tidak akan belajar menghormati otoritas diatasnya, akan memberontak disekolah dan akhirnya pelajaran di sekolahnya tidak bisa masuk ke otaknya.
Saya ceritakan kisah nyata waktu saya SMA. Kami memiliki guru kimia yang tidak menarik dan menyebalkan, waktu kami kelas 1, maka rata-rata nilai kimia di sekolah 6 atau 7 saja. Kimia bukan pelajaran yang menarik. Waktu kelas 2, guru kimia diganti dengan guru baru, muda, cakep dan mengajar dengan cara yang ‘luar biasa’. Dia datang membawa kertas putih kosong dan menantang para murid siapa yang bisa membaca ‘surat’ tersebut akan diberi hadiah. Semua murid tidak ada yang bisa karena itu bukan ‘surat’ hanya sebuah ‘kertas kosong’.
Setelah murid-murid menyerah, guru mengambil ‘surat’ itu, menyemprotnya dengan cairan bening dan munculah tulisan warna merah muda: “I love You, ketemu jam 4 di toko buku” Sang guru kembali menantang siapa yang mau membuat surat cinta yang pasti lolos sensor oleh calon mertua? Ketika murid-murid begitu tertarik, maka sang guru mulai menceritakan cairan apa yang digunakan untuk menulis dan cairan apa yang digunakan untuk menyemprot, apa isi masing-masing cairan tersebut, bagaimana reaksi kimia dan warna yang menyertainya.
Setiap minggu ada saja ‘demonstrasi’ semacam tukang sulap yang diperagakan si guru kimia ini. Begitu menariknya sehingga jika 10 menit guru tidak datang, kami beramai-ramai menjemput si guru di ruang guru. Lain ceritanya ketika guru menyebalkan, jika dia tidak datang, kami menutup pintu kelas, seolah-olah di dalam ada pelajaran.
Tahun itu rata-rata nilai kimia di kelas 8-9 dan tidak sedikit yang mendapat nilai 10. Tiba-tiba kimia menjadi pelajaran yang menarik. Ketika murid hormat dan senang dengan gurunya, pelajarannya menjadi mudah diterima.
Karena itu orang tua, janganlah engkau mengucapkan kata-kata negatif tentang guru anakmu atau sekolah anakmu, sehingga anakmu tidak hormat lagi dengan guru dan sekolahnya, dan kita juga yang akan rugi sendiri. (Jika sudah terlalu parah memang lebih baik pindahkan saja ke sekolah yang lain) Jika engkau tidak bermaksud memindahkan anakmu maka jangan katakan: “Wah gurumu itu tidak mengerti ilmu mendidik anak, kampungan!” “Wah sekolahmu itu tidak bonafide!” dll
Jika anak sudah tidak hormat dengan gurunya atau tidak suka dengan sekolahnya, pelajaran menjadi sulit diterima, karena sudah tidak ‘respect’. Sama dengan saudara jika kecewa atau tidak hormat dengan seorang ‘pendeta’, maka kotbahnya tidak masuk di hati kita bukan? Bisa saja kita mendengarnya namun kita berkata dalam hati kita : “Ah teori”
Kita mungkin saja tidak bisa menjadi
orang tua yang pandai ....
tetapi kita bisa menjadi
orang tua yang bijak!
SEHATI ORANG TUA - PEMBANTU/BABY SITTER
Suatu ketika saya pulang ke rumah, dan anak saya mengadu, bahwa suster marahi dia begini dan begitu. Hati saya panas, saya pikir, ini suster kurang ajar juga, dia khan anak saya, apa haknya dia marah-marah ke anak saya. Dia suster ya cukup jadi suster saja, gantikan pakaian, mandikan anak, kasih makan, ajak main, beresin mainan, bersihkan kamar dan jangan ‘lancang’ melampaui wewenang ikut-ikutan marah ke anak.
Saat itu saya bergumul dalam hati dan pikiran saya, dan akhirnya saya peluk anak saya, saya berikan empati namun sambil berkata kepada anak saya: “Kamu pasti ada salahnya?” “Tidak mungkin suster marah-marah kalau kamu tidak salah” Anak saya mulai berkata: “Ya tetapi khan saya ‘cuma’ begini begini dsb”. “Itu bukan cuma, itu salah, sana minta maaf sama suster” Bahkan sedikit saya paksa anak saya, minta maaf dengan suster.
Dengan prinsip semacam itu, waktu terus berjalan, maka kami orang tua yang ‘menikmati’ hasilnya, karena anak-anak menjadi hormat kepada suster dan pembantu sehingga kalau kami orang tua pergi, maka di rumah ada yang ‘ditakuti’ atau ‘dituruti’. Jika orang tua memandang rendah pembantu atau suster sebagai ‘babu’ yang harkat dan martabatnya dibawah kita, dan tidak boleh ‘marahi’ anak sekalipun anak salah, maka anak tidak akan menghormatinya.
Saya menjumpai anak-anak yang ‘menyiksa’ pembantu, dengan mencubiti atau memukul dan tidak menurut sama sekali. Susternya kerepotan dan tidak tahan, pembantu atau susternya ‘silih berganti’ setiap 3 maksimal 6 bulan keluar, orang tua yang repot juga. Ini banyak terjadi karena orang tua juga tidak menghargai pembantu sebagai ‘manusia’.
Anak akan bertumbuh dengan tidak menghargai orang yang lebih tua, dengan alasan status sosial dan ekonomi. Ini memang wajar dalam masyarakat namun menurut saya tidak baik. Seorang pemimpin yang berhasil adalah yang BERAKHLAK dan akhlak yang paling utama adalah berbelas kasihan, yang memiliki moral atau etika ‘menghormati orang yang lebih tua’ sekalipun dia seorang pembantu atau suster.
SEHARI ORANG TUA dan OPA-OMA
Masalah anak, mertua, opa dan oma ini biasanya terjadi jika pasangan tinggal serumah atau satu kompleks dengan orang tua atau mertuanya. Saya menjumpai beberapa anak ‘bermasalah’ karena faktor ketidak sehatian orang tua dengan opa oma si anak.
Anak akan rusak jika ibunya memberikan aturan mengatakan; “Jangan makan es krim, nanti kamu batuk”, lalu si anak datang ke omanya, dan omanya mengatakan; “Sini oma belikan es krim, mama-mu itu - menantukuku itu maksudnya dalam hati - pelit !!, sini sama oma saja !”
Sering orang tua merasa bahwa dia dulu tidak bisa mengasihi anak-anaknya karena faktor ekonomi yang kurang dan sekarang dia mau mengasihi cucu-cucunya, jangan sampai dia sedih dan tidak bahagia seperti anak-anaknya dulu. Bisa juga karena faktor ingin ‘menjadi berarti’ bagi sang cucu di masa tuanya, dimana dia mungkin sudah tidak terlalu ‘berarti’ bagi anak dan tidak bisa lagi menasehati atau mempengaruhi anak-anaknya, karena mereka sudah pandai dan berhasil, maka untuk menjadi ‘berarti’ keberadaannya, opa-oma mengasihi cucu-cucunya.
Ini baik-baik saja, sepanjang tidak konflik dengan orang tua si anak, sehingga anak akan menjadi memberontak orang tuanya karena pembelaan opa-oma. Konflik bisa meluas jika orang tua si anak merasa diintervensi dan menjadi bertengkar dengan mertua atau orang tuanya (opa oma si anak).
Bicarakan secara bijaksana baik langsung dengan mertua atau orang tua atau melalui pasanganmu demi kemajuan si anak. Opa oma juga harus belajar untuk menghormati otoritas orang tua terhadap anak dan tidak mencampuri terlalu jauh.
SEHATI ORANG TUA dan GURU
Sama juga di sekolah, orang tua dan guru harus sehati dihadapan anak-anak. Kalau ada perbedaan diskusikan dengan guru atau laporkan tingkah laku si guru ke Kepala Sekolah, tetapi jangan ceritakan apa yang kau lakukan kepada anakmu, jangan menjadi ‘jagoan’ dengan ‘melabrak’ gurunya, jangan jadi ‘pahlawan’ untuk urusan yang semacam ini, jadilah pahlawan bagi anak-anakmu dalam bidang lain. Jika ini yang engkau lakukan, maka anak-anakmu tidak akan menghormati gurunya, dia tidak akan belajar menghormati otoritas diatasnya, akan memberontak disekolah dan akhirnya pelajaran di sekolahnya tidak bisa masuk ke otaknya.
Saya ceritakan kisah nyata waktu saya SMA. Kami memiliki guru kimia yang tidak menarik dan menyebalkan, waktu kami kelas 1, maka rata-rata nilai kimia di sekolah 6 atau 7 saja. Kimia bukan pelajaran yang menarik. Waktu kelas 2, guru kimia diganti dengan guru baru, muda, cakep dan mengajar dengan cara yang ‘luar biasa’. Dia datang membawa kertas putih kosong dan menantang para murid siapa yang bisa membaca ‘surat’ tersebut akan diberi hadiah. Semua murid tidak ada yang bisa karena itu bukan ‘surat’ hanya sebuah ‘kertas kosong’.
Setelah murid-murid menyerah, guru mengambil ‘surat’ itu, menyemprotnya dengan cairan bening dan munculah tulisan warna merah muda: “I love You, ketemu jam 4 di toko buku” Sang guru kembali menantang siapa yang mau membuat surat cinta yang pasti lolos sensor oleh calon mertua? Ketika murid-murid begitu tertarik, maka sang guru mulai menceritakan cairan apa yang digunakan untuk menulis dan cairan apa yang digunakan untuk menyemprot, apa isi masing-masing cairan tersebut, bagaimana reaksi kimia dan warna yang menyertainya.
Setiap minggu ada saja ‘demonstrasi’ semacam tukang sulap yang diperagakan si guru kimia ini. Begitu menariknya sehingga jika 10 menit guru tidak datang, kami beramai-ramai menjemput si guru di ruang guru. Lain ceritanya ketika guru menyebalkan, jika dia tidak datang, kami menutup pintu kelas, seolah-olah di dalam ada pelajaran.
Tahun itu rata-rata nilai kimia di kelas 8-9 dan tidak sedikit yang mendapat nilai 10. Tiba-tiba kimia menjadi pelajaran yang menarik. Ketika murid hormat dan senang dengan gurunya, pelajarannya menjadi mudah diterima.
Karena itu orang tua, janganlah engkau mengucapkan kata-kata negatif tentang guru anakmu atau sekolah anakmu, sehingga anakmu tidak hormat lagi dengan guru dan sekolahnya, dan kita juga yang akan rugi sendiri. (Jika sudah terlalu parah memang lebih baik pindahkan saja ke sekolah yang lain) Jika engkau tidak bermaksud memindahkan anakmu maka jangan katakan: “Wah gurumu itu tidak mengerti ilmu mendidik anak, kampungan!” “Wah sekolahmu itu tidak bonafide!” dll
Jika anak sudah tidak hormat dengan gurunya atau tidak suka dengan sekolahnya, pelajaran menjadi sulit diterima, karena sudah tidak ‘respect’. Sama dengan saudara jika kecewa atau tidak hormat dengan seorang ‘pendeta’, maka kotbahnya tidak masuk di hati kita bukan? Bisa saja kita mendengarnya namun kita berkata dalam hati kita : “Ah teori”
Kita mungkin saja tidak bisa menjadi
orang tua yang pandai ....
tetapi kita bisa menjadi
orang tua yang bijak!
SEHATI ORANG TUA - PEMBANTU/BABY SITTER
Suatu ketika saya pulang ke rumah, dan anak saya mengadu, bahwa suster marahi dia begini dan begitu. Hati saya panas, saya pikir, ini suster kurang ajar juga, dia khan anak saya, apa haknya dia marah-marah ke anak saya. Dia suster ya cukup jadi suster saja, gantikan pakaian, mandikan anak, kasih makan, ajak main, beresin mainan, bersihkan kamar dan jangan ‘lancang’ melampaui wewenang ikut-ikutan marah ke anak.
Saat itu saya bergumul dalam hati dan pikiran saya, dan akhirnya saya peluk anak saya, saya berikan empati namun sambil berkata kepada anak saya: “Kamu pasti ada salahnya?” “Tidak mungkin suster marah-marah kalau kamu tidak salah” Anak saya mulai berkata: “Ya tetapi khan saya ‘cuma’ begini begini dsb”. “Itu bukan cuma, itu salah, sana minta maaf sama suster” Bahkan sedikit saya paksa anak saya, minta maaf dengan suster.
Dengan prinsip semacam itu, waktu terus berjalan, maka kami orang tua yang ‘menikmati’ hasilnya, karena anak-anak menjadi hormat kepada suster dan pembantu sehingga kalau kami orang tua pergi, maka di rumah ada yang ‘ditakuti’ atau ‘dituruti’. Jika orang tua memandang rendah pembantu atau suster sebagai ‘babu’ yang harkat dan martabatnya dibawah kita, dan tidak boleh ‘marahi’ anak sekalipun anak salah, maka anak tidak akan menghormatinya.
Saya menjumpai anak-anak yang ‘menyiksa’ pembantu, dengan mencubiti atau memukul dan tidak menurut sama sekali. Susternya kerepotan dan tidak tahan, pembantu atau susternya ‘silih berganti’ setiap 3 maksimal 6 bulan keluar, orang tua yang repot juga. Ini banyak terjadi karena orang tua juga tidak menghargai pembantu sebagai ‘manusia’.
Anak akan bertumbuh dengan tidak menghargai orang yang lebih tua, dengan alasan status sosial dan ekonomi. Ini memang wajar dalam masyarakat namun menurut saya tidak baik. Seorang pemimpin yang berhasil adalah yang BERAKHLAK dan akhlak yang paling utama adalah berbelas kasihan, yang memiliki moral atau etika ‘menghormati orang yang lebih tua’ sekalipun dia seorang pembantu atau suster.
Post a Comment